( LINTASDUNIA.MY.ID ) – Di kisahkan Ki Baluran yang juga disebut Ki Arga Suta atau Syekh Madun Jaya, adalah salah seorang putra Pangeran Gesang demang dari kesultanan Cirebon. Dalam pembagian tanah cakrahan milik orang tuanya yang terletak di sebelah utara perbatasan wilayah Cirebon dan Indramayu, terjadi pertentangan pendapat dengan ketiga saudaranya terutama dengan adiknya Nyi Mertasari. Kedua saudara laki – laki termasuk dirinya berpendapat bahwa anak perempuan cukup mendapat bagian tanah sebesar payung. Pendirian tersebut ditentang Nyi Mertasari, karena menurutnya pembagian tanah harus sama luas ( 22/JULI/2024 ).
Untuk menyelesaikan perselisihan tersebut, Ki Kutub (sunan gunung jati) mengutus Ki Panunggulan yang mengambil kebijakan dengan mengadakan sayembara yang disetujui para putra Pangeran Gesang. “Barang siapa di antara mereka dapat mendatangkan jenis – jenis hewan seisi hutan, maka tanah cakrahan ayahnya menjadi miliknya”. Secara berturut – turut keempat putra Pangeran Gesang itu mengeluarkan kesaktian mulai dari Ki Jagabaya, Ki Sumerang, Ki Baluran, dan terakhir Nyi Mertasari.
Sebelum dimulai adu kesaktian, Ki Baluran bersumpah tidak akan berperang dan mengadu kesaktian dengan siapapun, manakala tidak biasa menandingi kesaktian Nyi Mertasari. Ki Baluran mengeluarkan kesaktian dengan menancapkan tongkat di atas tanah, dan tongkat itu menjelma menjadi ular yang bentuknya seperti kendang hingga dinamakan ular kendang. Nyi Mertasari menunjukan tangannya ke kiri dan kanan dan menyebutkan jenis – jenis hewan seisi hutan, maka berdatanganlah hewan – hewan yang disebutkan itu.
Sayembara akhirnya dimenangkan Nyi Mertasari, maka sesuai dengan bunyi sayembara seluruh tanah cakrahan menjadi milik Nyi Mertasari. Namun berkat musyawarah yang ditengahi Ki Warsiki dan atas restu Ki Kutub. Tanah cakrahan tersebut dibagi – bagi kepada putra – putri Ki Gesang, di mana yang menentukan letak dan luas pembagian tanah adalah Nyi Mertasari.
Ki Baluran mendapat bagian tanah di sebelah barat. Mulailah Ki Baluran membabad hutan dengan cara membakarnya, maka dengan sekejap hutan menjadi lautan api, bahkan percikan apinya sampai ke tepi pantai wilayah Indramayu, tepatnya di daerah Eretan, sehingga hutan di daerah itu sebagian ikut terbakar. Lokasi tanah bekas pembakaran tersebut diakui masyarakat termasuk tanah cakrahan Ki Baluran.
Ki Baluran membangun pedukuhan dan hidup rukun damai beserta masyarakat. Pada suatu waktu datanglah ke pedukuhannya segerombolan perampok yang bermaksud menyatroni daerah itu. Oleh karena sumpahnya, Ki Baluran tidak mau melayani para perampok, malahan menghindar pergi beserta keluarganya di suatu tempat yang kelak disebut Desa Guwa, tanah yang dilalui Ki Baluran beserta keluarganya tiba – tiba membelah (terbuka) dan menutup / melindungi Ki Baluran beserta keluarganya, seperti bersembunyi di dalam gua.
Keluar dari gua, Ki Baluran dikejar lagi namun terus menghindar ke arah utara hingga masuk wilayah Indramayu. Ia berteduh di bawah pohon asem, oleh karena itu tempat tersebut dinamakan Pondok Asem.
Gerombolan pembegal masih penasaran ingin bertarung dengan Ki Baluran, namun Ki Baluran tetap menghindari lalu bersama keluarganya pergi menuju barat disana ia hidup rukun, damai dan sejahtera menemui ketenangan. Tempat tersebut lalu dinamakan Temu Ireng (ketemu pareng / menemukan sesuatu yang di kehendaki).
Ketika musim paceklik tiba, orang – orang yang akan pergi ke pasar Darsen sering melihat seorang tua yang tiada lain Ki Baluran berada di sebuah gubug seperti sedang kelaparan. Oleh karena merasa iba, setiap pergi ke pasar mereka memberikan jagung untuk makan, sehingga lama kelamaan daerah tersebut terkenal dengan nama Tulung Agung (di “Tulung” dengan “Jagung”).
Merasa tidak enak menjadi beban orang lain, Ki Baluran pergi menuju ke arah selatan wilayah Cirebon dan berhenti di pedukuhan Bunder. Ia mengolah sebidang tanah / sawah dan bercocok tanam, juga membuat sumur untuk sumber penghidupan. Setelah tinggal di Bunder, Ki Baluran terus memantau keadaan Guwa daerah asalnya, dengan mem